"kesabaran itu berbuah manis."
begitulah orang-orang selalu memberitahuku.
kulihat sebuah pohon apel di kejauhan.
kuhampiri, dan kupandangi butir-butir apel merah yang menggantung di sana.
air liurku terbit, perutku berkeriuk. buah-buah apel tersebut tampak sangat menggiurkan.
kuambil sebatang bambu untuk memetik sebuah apel.
aku melompat-lompat sembari mengayunkan bambu, namun apa daya dahan-dahan itu terlampau tinggi.
aku tak menyerah.
aku mengguncang-guncang pohon apel itu, merontokkan beberapa daunnya, namun tak ada satu pun buah apel yang jatuh.
walaupun sudah merasa lelah, aku tak berputus asa.
kuambil kerikil, kulemparkan mereka ke arah buah-buah apel di atas kepalaku.
buah-buah itu bergeming, namun tak berpindah dari tempatnya.
aku lelah.
aku duduk di bawah pohon, berharap akan ada angin yang berhembus untuk menerbangkan sebuah apel ke pangkuanku.
atau barangkali ada seekor burung yang mau memetikkannya untukku?
semoga.
aku menunggu dengan sabar.
ketika aku sudah lelah menunggu, aku kembali meraih bambu. aku kembali mengguncang-guncang pohon. aku kembali memungut kerikil.
nihil.
begitu terus berulang-ulang.
aku terkapar kelelahan.
aku hanya ingin memakan sebutir apel.
sesederhana itu.
tidak, aku tidak mau yang lain.
aku ingin apel itu, apel yang sekarang sedang tersenyum mengejekku dari atas dahan.
"aku tidak mau yang lain," aku merintih kelelahan, air mataku mulai menggenang.
kuhapus air mataku, aku pun duduk.
"aku harus bersabar. kesabaran akan berbuah manis. kesabaran akan berbuah manis," kataku berusaha meneguhkan hati.
selama berjam-jam aku duduk, menunggu salah satu dahan itu kelelahan dan menjatuhkan sebutir apel.
tapi semakin lama justru aku yang merasa semakin lelah.
"hei apa yang sedang kaulakukan?"
aku menoleh, melihat seorang pemuda berdiri di belakangku, menatapku heran.
kujelaskan apa yang sedang kulakukan, dan pemuda itu mengangkat alisnya.
"wah benarkah? selamat berjuang kalau begitu," ia berucap datar.
"akan sia-siakah penantianku? apakah apel itu tidak akan jatuh?" tanyaku langsung, mendengar nada sangsi dari suaranya.
pemuda itu mengangkat bahu.
"aku tidak tahu. aku takkan mencegahmu menanti apel itu jatuh, atau berusaha memetiknya. tapi aku akan memberitahumu satu hal : itu membutuhkan kesabaran yang sangat tinggi," katanya.
"yah aku tahu," aku menjawab lesu.
"aku tak ingin memberitahukanmu hal ini karena sepertinya kamu begitu menginginkan apel itu. tapi yah kurasa kamu perlu tahu. buah-buah apel di pohon ini terkenal asam dan banyak ulatnya. aku tidak bohong. aku pernah melihatnya beberapa kali," kata si pemuda.
kepalaku langsung terkulai lemah.
"jadi usaha dan penantianku selama ini sia-sia?" tanyaku sedih.
"aku tidak berkata begitu. mungkin masih ada buah apel yang manis dan bebas-ulat, tapi entah berapa butir. yang pasti, kamu akan membutuhkan lebih banyak usaha dan kesabaran untuk memperolehnya, terutama kesabaran," jawab si pemuda.
aku tertunduk lesu.
pemuda itu bangkit dan berlalu, meninggalkanku.
kutengadahkan kepalaku, menatap buah-buah apel yang bergelantungan di atas sana.
benarkah mereka terasa asam?
benarkah mereka memiliki banyak ulat?
aku takkan tahu sampai mencoba dan melihatnya sendiri bukan?
aku tak mungkin menelan mentah-mentah ucapan pemuda tadi.
tapi bagaimana aku bisa membuktikannya sendiri, bila aku bahkan tak bisa memetik satu butir saja?
aku menangis kebingungan.
aku ingin bersabar.
aku ingin terus berusaha.
aku ingin menunggu.
tetapi bagaimana bila di akhir kesabaranku, yang kudapat justru buah apel yang asam dan ber-ulat?
aku ingin berpaling pada pohon lain, mungkin anggur, mungkin melon, tapi yang kuinginkan adalah apel.
kesabaran (semestinya) berbuah manis bukan?
tetapi ... ah aku ragu.
aku bingung.
aku terlalu takut untuk mendapatkan buah yang asam dan ber-ulat sebagai hasil dari kesabaranku.
namun aku pun terlalu takut berpaling dari pohon apel dan melewatkan sebutir buah manis yang mungkin masih tersisa di sana.
Wednesday, October 7, 2009
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
0 comments:
Post a Comment