Tuesday, October 20, 2009

surat yang tak pernah sampai. (by dewi lestari)

suratmu itu tidak akan pernah terkirim, karena sebenarnya kamu hanya ingin berbicara pada dirimu sendiri.

kamu ingin berdiskusi dengan angin, dengan wangi sebelas tangkai sedap malam yang kamu beli dari tukang bunga berwajah memelas, dengan nyamuk-nyamuk yang cari makan, dengan malam, dengan detik jam. tentang dia.


sebelah darimu menginginkan agar dia datang, membencimu hingga muak dan mendekati gila, menertawakan segala kebodohannya, kekhilafannya, untuk sampai jatuh hati padamu, menyesalkan magis yang hadir naluriah setiap kali kalian berjumpa.

akan kamu kirimkan lagi tiket bioskop, bon restoran, semua tulisannya – dari mulai nota sebaris sampai doa berbait-bait.

dan beceklah pipinya karena geli, karena asap dan api dari benda-benda yang ia hanguskan – bukti-bukti bahwa kalian pernah saling tergila-gila – beterbangan masuk ke matanya.

semoga ia pergi dan tak pernah menoleh lagi. hidupmu, hidupnya, pasti akan lebih mudah.


tapi, sebelah dari kamu menginginkan agar dia datang, menjemputmu, mengamini kalian, dan untuk kesekian kali, jatuh hati lagi, segila-gilanya, sampai batas gila dan waras pupus dalam kesadaran murni akan cinta.

kemudian mendamparkan dirilah kalian di sebuah alam tak dikenal untuk membaca ulang semua kalimat, mengenang setiap inci perjalanan, perjuangan, dan ketabahan hati.

betapa sebelah darimu percaya bahwa setetes air mata pun akan terhitung, tak ada yang mengalir mubazir, segalanya pasti bermuara di satu samudra tak terbatas, lautan merdeka yang bersanding sejajar dengan cakrawala. dan itulah tujuan kalian.


kalau saja hidup tidak berevolusi, kalau saja sebuah momen dapat selamanya menjadi fosil tanpa terganggu, kalau saja kekuatan kosmik mampu stagnan di satu titik. maka tanpa ragu kamu akan memilih satu detik bersamanya untuk diabadikan. cukup satu.

satu detik yang segenap keberadaannya dipersembahkan untuk bersamamu, dan bukan dengan ribuan hal lain yang menanti untuk dilirik pada detik berikutnya. betapa kamu rela membatu untuk itu.


tapi, hidup ini cair. semesta ini bergerak. realitas berubah. seluruh simpul dari kesadaran kita berkembang mekar.

hidup akan mengikis apa saja yang memilih diam, memaksa kita untuk mengikuti arus agungnya yang jujur tetapi penuh rahasia. kamu, tidak terkecuali.


kamu takut.

kamu takut karena ingin jujur. dan kejujuranmu menyudutkanmu untuk mengakui kamu mulai ragu.

dialah bagian terbesar dalam hidupmu, tapi kamu cemas. kata “sejarah” mulai menggantung hati-hati di atas sana.

“sejarah kalian”. konsep itu menakutkan sekali.

sejarah memiliki tampuk istimewa dalam hidup manusia, tapi tidak lagi melekat utuh pada realitas. sejarah seperti awan yang tampak padat berisi tapi ketika disentuh menjadi embun yang rapuh.

skenario perjalanan kalian mengharuskanmu untuk sering menyejarahkannya, merekamnya, lalu memainkannya ulang di kepalamu sebagai sang kekasih impian, sang tujuan, sang inspirasi bagi segala mahakarya yang termuntahkan ke dunia.

sementara dalam setiap detik yang berjalan, kalian seperti musafir yang tersesat di padang. berjalan dengan kompas masing-masing, tanpa ada usaha saling mencocokkan. sesekali kalian bertemu, berusaha saling toleransi atas nama cinta dan perjuangan yang tidak boleh sia-sia.

kamu sudah membayar mahal untuk perjalanan ini. kamu pertaruhkan segalanya demi apa yang kamu rasa benar. dan mencintainya menjadi kebenaran tertinggimu.


lama baru kamu menyadari bahwa pengalaman merupakan bagian tak terpisahkan dari hubungan yang diikat oleh seutas perasaan mutual.

lama bagi kamu untuk berani menoleh ke belakang, menghitung, berapa banyakkah pengalaman nyata yang kalian alami bersama?

sebuah hubungan yang dibiarkan tumbuh tanpa keteraturan akan menjadi hantu yang tidak menjejak bumi, dan alasan cinta yang tadinya diagungkan bisa berubah menjadi utang moral, investasi waktu, perasaan, serta perdagangan kalkulatif antara dua pihak.


cinta butuh dipelihara.

bahwa di dalam sepak terjangnya yang serba mengejutkan, cinta ternyata masih butuh mekanisme agar mampu bertahan.

cinta jangan selalu ditempatkan sebagai iming-iming besar, atau seperti ranjau yang tahu-tahu meledakkanmu, entah kapan dan kenapa.

cinta yang sudah dipilih sebaiknya diikutkan di setiap langkah kaki, merekatkan jemari, dan berjalanlah kalian bergandengan. karena cinta adalah mengalami.

cinta tidak hanya pikiran dan kenangan.

lebih besar, cinta adalah dia dan kamu. interaksi. perkembangan dua manusia yang terpantau agar tetap harmonis.

karena cinta pun hidup dan bukan cuma maskot untuk disembah sujud.


kamu ingin berhenti memencet tombol tunda.

kamu ingin berhenti menyumbat denyut alami hidup dan membiarkannya bergulir tanpa beban.

dan kamu tahu, itulah yang tidak bisa dia berikan kini.


di meja itu, kamu dikelilingi tulisan tangannya yang tersisa.

kamu baru sadar betapa tidak adilnya ini semua. kenapa harus kamu yang kebagian tugas dokumentasi dan arsip, sehingga cuma kamulah yang tersiksa?

jangan heran kalau kamu menangis sejadi-jadinya.

dia yang tidak pernah menyimpan gambar rupamu, pasti tidak tahu apa rasanya menatap lekat-lekat satu sosok, membayangkan rasa sentuh dari helai rambut yang polos tanpa busa pengeras, rasa hangat uap tubuh yang kamu hafal betul temperaturnya.

dan kamu hanya bisa berbagi kesedihan itu, ketidakrelaan itu, kelemahan itu, dengan wangi bunga yang melangu, dengan nyamuk-nyamuk yang putus asa, dengan malam yang pasrah digusur pagi, dengan detik jam dinding yang gagu karena habis daya.


sampai pada halaman kedua suratmu, kamu yakin dia akan paham, atau setidaknya setengah memahami, betapa sulitnya perpisahan yang dilakukan sendirian.

tidak ada sepasang mata lain yang mampu meyakinkanmu bahwa ini memang sudah usai.

tidak ada kata, peluk, cium, atau langkah kaki yang beranjak pergi yang mampu menjadi penanda dramatis bahwa sebuah akhir telah diputuskan bersama.

atau sebaliknya, tidak ada sergahan yang membuatmu berubah pikiran, tidak ada kata “jangan” yang mungkin, apabila diucapkan dan ditindakkan dengan tepat, akan membuatmu menghambur kembali dan tak mau pergi lagi.

kamu pun tersadar, itulah perpisahan paling sepi yang pernah kamu alami.


ketika surat itu tiba di titiknya yang terakhir, masih akan ada sejumput kamu yang bertengger tak mau pergi dari perbatasan usai dan tidak usai.

bagian dirimu yang merasa paling bertanggung jawab atas semua yang sudah kalian bayarkan bersama demi mengalami perjalanan hati yang sedahsyat itu.

dirimu yang mini, tapi keras kepala, memilih untuk tidak ikut pergi bersama yang lain, menetap untuk terus menemani sejarah.

dan karena waktu semakin larut, tenagamu pun sudah menyurut, maka kamu akan membiarkan si kecil itu bertahan semaunya.


mungkin, suatu saat, apabila sekelumit dirimu itu mulai kesepian dan bosan, ia akan berteriak-teriak ingin pulang.

dan kamu akan menjemputnya, lalu membiarkan sejarah membentengi dirinya dengan tembok tebal yang tak lagi bisa ditembus.

atau mungkin, ketika sebuah keajaiban mampu menguak kekeruhan ini, jadilah ia semacam mercusuar, kompas, bintang selatan. yang menunjukkan jalan pulang bagi hatimu untuk, akhirnya, menemuiku.

aku, yang merasakan apa yang kau rasakan. yang mendamba untuk mengalami.

aku, yang telah menuliskan surat-surat cinta padamu.

surat-surat yang tak pernah sampai.


my notes : taken from dewi lestari's filosofi kopi. saya belum pernah menemukan tulisan orang lain yang lebih menggambarkan apa yang saya rasakan, dibandingkan tulisan ini. seolah dewi lestari sedang berbicara langsung kepada saya ketika menulis ini, dan 'kamu' dalam tulisan ini adalah saya. i adore dewi lestari soo much.

Wednesday, October 7, 2009

aku dan sebatang pohon apel.

"kesabaran itu berbuah manis."
begitulah orang-orang selalu memberitahuku.

kulihat sebuah pohon apel di kejauhan.
kuhampiri, dan kupandangi butir-butir apel merah yang menggantung di sana.
air liurku terbit, perutku berkeriuk. buah-buah apel tersebut tampak sangat menggiurkan.

kuambil sebatang bambu untuk memetik sebuah apel.
aku melompat-lompat sembari mengayunkan bambu, namun apa daya dahan-dahan itu terlampau tinggi.
aku tak menyerah.
aku mengguncang-guncang pohon apel itu, merontokkan beberapa daunnya, namun tak ada satu pun buah apel yang jatuh.
walaupun sudah merasa lelah, aku tak berputus asa.
kuambil kerikil, kulemparkan mereka ke arah buah-buah apel di atas kepalaku.
buah-buah itu bergeming, namun tak berpindah dari tempatnya.

aku lelah.
aku duduk di bawah pohon, berharap akan ada angin yang berhembus untuk menerbangkan sebuah apel ke pangkuanku.
atau barangkali ada seekor burung yang mau memetikkannya untukku?
semoga.

aku menunggu dengan sabar.
ketika aku sudah lelah menunggu, aku kembali meraih bambu. aku kembali mengguncang-guncang pohon. aku kembali memungut kerikil.
nihil.
begitu terus berulang-ulang.

aku terkapar kelelahan.
aku hanya ingin memakan sebutir apel.
sesederhana itu.
tidak, aku tidak mau yang lain.
aku ingin apel itu, apel yang sekarang sedang tersenyum mengejekku dari atas dahan.
"aku tidak mau yang lain," aku merintih kelelahan, air mataku mulai menggenang.

kuhapus air mataku, aku pun duduk.
"aku harus bersabar. kesabaran akan berbuah manis. kesabaran akan berbuah manis," kataku berusaha meneguhkan hati.

selama berjam-jam aku duduk, menunggu salah satu dahan itu kelelahan dan menjatuhkan sebutir apel.
tapi semakin lama justru aku yang merasa semakin lelah.

"hei apa yang sedang kaulakukan?"
aku menoleh, melihat seorang pemuda berdiri di belakangku, menatapku heran.
kujelaskan apa yang sedang kulakukan, dan pemuda itu mengangkat alisnya.
"wah benarkah? selamat berjuang kalau begitu," ia berucap datar.
"akan sia-siakah penantianku? apakah apel itu tidak akan jatuh?" tanyaku langsung, mendengar nada sangsi dari suaranya.
pemuda itu mengangkat bahu.
"aku tidak tahu. aku takkan mencegahmu menanti apel itu jatuh, atau berusaha memetiknya. tapi aku akan memberitahumu satu hal : itu membutuhkan kesabaran yang sangat tinggi," katanya.
"yah aku tahu," aku menjawab lesu.
"aku tak ingin memberitahukanmu hal ini karena sepertinya kamu begitu menginginkan apel itu. tapi yah kurasa kamu perlu tahu. buah-buah apel di pohon ini terkenal asam dan banyak ulatnya. aku tidak bohong. aku pernah melihatnya beberapa kali," kata si pemuda.

kepalaku langsung terkulai lemah.
"jadi usaha dan penantianku selama ini sia-sia?" tanyaku sedih.
"aku tidak berkata begitu. mungkin masih ada buah apel yang manis dan bebas-ulat, tapi entah berapa butir. yang pasti, kamu akan membutuhkan lebih banyak usaha dan kesabaran untuk memperolehnya, terutama kesabaran," jawab si pemuda.

aku tertunduk lesu.
pemuda itu bangkit dan berlalu, meninggalkanku.
kutengadahkan kepalaku, menatap buah-buah apel yang bergelantungan di atas sana.

benarkah mereka terasa asam?
benarkah mereka memiliki banyak ulat?
aku takkan tahu sampai mencoba dan melihatnya sendiri bukan?
aku tak mungkin menelan mentah-mentah ucapan pemuda tadi.
tapi bagaimana aku bisa membuktikannya sendiri, bila aku bahkan tak bisa memetik satu butir saja?

aku menangis kebingungan.
aku ingin bersabar.
aku ingin terus berusaha.
aku ingin menunggu.
tetapi bagaimana bila di akhir kesabaranku, yang kudapat justru buah apel yang asam dan ber-ulat?
aku ingin berpaling pada pohon lain, mungkin anggur, mungkin melon, tapi yang kuinginkan adalah apel.

kesabaran (semestinya) berbuah manis bukan?
tetapi ... ah aku ragu.
aku bingung.
aku terlalu takut untuk mendapatkan buah yang asam dan ber-ulat sebagai hasil dari kesabaranku.
namun aku pun terlalu takut berpaling dari pohon apel dan melewatkan sebutir buah manis yang mungkin masih tersisa di sana.